Maka
mulailah sebuah periode yang penuh perjuangan dalam hidup sang artis dengan
nama baru itu, Katy Perry. Tentu saja kegagalan album Katy Hudson nggak bikin
dia patah semangat. Justru sebaliknya, ia tambah penasaran untuk terus mengejar
mimpi-mimpinya di belantara musik. Dan itu terlihat dari keputusannya untuk
hijrah meninggalkan kampung halamannya, Santa Barbara, menuju tempat lain yang
masih berada di negara bagian California namun terasa seperti dimensi berbeda :
Los Angeles!.
Dan
itu dilakukannya saat usianya baru saja beranjak 17 tahun, usia ketika
kebanyakan dari kita masih setia meringkuk dalam perlindungan orang tua dan
sibuk menghabiskan duit mereka demi memenuhi semua keinginan. Bagi orang hebat
seperti Katy, umur 17 justru menjadi saat-saat ketika perjuangan besar dan
kerja keras dimulai.
Masih
membawa latar belakang bermusik sebagai penyanyi dan penulis lagu gospel,
tempat tujuan pertamanya adalah Island Records, Label ini didirikan di Jamaika
pada tahun 1959 oleh Chris Blackwell dan Graeme Goodall. Katy akan bergabung
bersama nama-nama besar semacam Babyface, Hoobastank, Jennifer Lopez, dan juga
Lionel Richie.
Karena
seumur hidup hanya tahu soal musik gospel, Katy boleh dibilang sama sekali
nggak mengenal tentang dunia musik pop komersial secara umum. Maka ia juga
bengong waktu ditanya oleh salah seorang produser di Island Records, kira-kira
Katy ingin kerja bareng dengan produser atau musisi kayak apa untuk proyek
albumnya.
Masih
sambil bengong, Katy balik ke hotel bersama mamanya dan merenungkan masa
depannya. Sambil mikir, ia menyalakan TV dan tune in ke channel khusus musik
VH1, yang kebetulan saat itu tengah menayangkan wawancara dengan produser
kondang Glenn Ballard. Dalam tayangan itu, Glenn tengah bicara soal salah satu
anak didiknya yang paling tersohor, Alanis Morissette.
Glenn
Ballard lahir tanggal 1 Mei 1953, dan telah bekerja sama dengan sangat banyak
artis musik yang masuk kategori legenda. Ia ikut menggarap album Thriller, Bad,
dan Dangerous milik Michael Jackson. Pada sekitar tahun-tahun itu, ia
memproduseri album milik No Doubt, Shakira, dan Dave Matthews Band. Namum
masterpiece-nya yang terindah adalah Jagged Little Pill (1996), album ketiga
Alanis Morissette.
Pada
era 1990-an, Alanis dan Jagged Little Pill adalah sebuah fenomena tersendiri.
Nggak ada seorang pun yang melewati dekade itu dan nggak mengenali lagu-lagu
seperti You Oughta Know, Ironic, ataupun Head Over Feet. Semua lagu di dalamnya
ditulis oleh Alanis, sedangkan Glenn bertanggung jawab pada soal komposisi
musik.
Alanis
Morissette, dan terutama album itu, adalah inspirasi besar buat Katy. Ia baru
berumur 12 tahun saat Jagged Little Pill dirilis. Muncul pada saat ia tengah
merajut mimpi bermusik. Ide pun datang dengan seketika. Ia langsung meminta
untuk dipertemukan dengan Glenn, dan di LA juga akhirnya pertemuan bersejarah
itu berlangsung.
Pada
Glenn, Katy menyodorkan salah satu lagu demo yang dimilikinya. Ternyata Glenn
langsung tertarik dan menerima tawaran kerja sama yang diberikan Katy. Nggak
cuma itu, Glenn juga membantu Katy mengasah kemampuan soal penulisan lagu,
terutama untuk keluar dari kungkungan musik gospel yang sejak kecil ia alami.
Maka
konsep album pun terbentuk. Dijadwal akan beredar pada tahun 2005, Katy dan
Glenn bahu-membahu untuk memproduksi materi lagu-lagu yang akan dimasukkan ke
dalam album tersebut. Sayang, dunia nyata ternyata nggak seindah cita-cita.
Nggak ada progress yang berarti dari album tersebut. Yang lebih nyakitin, Katy
akhirnya malah dikeluarkan sepenuhnya dari The Island Def Jam Music Group.
Mimpi
untuk memiliki album pada tahun 2005 pun punah sudah. Lagu-lagu yang sudah
selesai digarapnya bareng Glenn Ballard pun mangkrak tak jadi mengudara
di mana pun. Katy akhirnya memasang lagu Box, Diamonds, dan Long Shot di
halaman MySpace-nya.
Beberapa
di antaranya kemudian dipakai untuk keperluan lain. Single Simple batal masuk
album solo, lalu dipasang sebagai salah satu lagu soundtrack untuk film The
Sisterhood of the Traveling Pants (2005), film adaptasi novel berjudul sama
karangan Ann Brashares yang dibesut Ken Kwapis. Di album soundtrack film itu,
Katy berjajar bersama Chantal Kreviazuk, Natasha Bedingfield, dan Five for
Fighting.
Dua
lagu lain, Long Shot dan I Do Not Hook Up, dipakai oleh pemenang kontes
American Idol musim pertama, Kelly Clarkson, dalam album keempatnya, All I Ever
Wanted (2009). I Do Not Hook Up menjadi single kedua album itu setelah My Life
Would Suck Without You dan berhasil nangkring hingga peringkat 12 di chart
Billboard pop 100. Lagu tersebut digarap Katy bersama Greg Wells dan penulis
lagu kenamaan Kara DioGuardi.
Lepas
dari Def Jam, Katy direkut oleh label lain yang nggak kalah mentereng, Columbia
Records. Ini terjadi setahun sebelum keduanya harusnya keluar, yaitu 2004.
Namun kiprahnya di Columbia nggak berlangsung mulus, sebab ia tidak didesain
untuk memegang sisi kreatif albumnya. Dalam arti, ia hanya menyanyi dan tak
ikut campur terlalu jauh dalam penulisan lagu, komposisi musik, dan terutama pemilihan
lagu serta single.
Selain
itu, ada ide untuk menjadikannya sebagai vokalis cewek untuk The Matrix yang
saat itu tengah menggarap album. The Matrix yang ini bukan film Keanu Reeves
yang monumental itu, melainkan salah satu grup musik. Yang unik, The Matrix
bukan band atau grup vokal, melainkan diisi oleh sederetan orang yang
bertindak sebagai produser. The Matrix waktu itu beranggotakan Lauren Christy,
Graham Edwards, dan Scott Spock.
Lauren
Christy pada tahun 1990-an pernah ngetop sesaat lewat dua soundtrack film,
yaitu lagu The Color of the Night (dari film Color of Night) dan Anywhere the
Wind Blows (film Seven Girlfriends). Ia kemudian menikah dengan Graham Edwards
dan bertemu peniup trompet Scott Spock. Sebagai The Matrix, mereka meraup
sukses dengan memproduksi lagu-lagu hit untuk Christina Aguilera, Backstreet
Boys, serta Avril Lavigne.
Puas
berproduksi untuk artis lain, mereka berencana untuk membuat album mereka
sendiri. Selain Katy Perry, vokalis lain yang digaet adalah Adam Longlands.
Sayang album ini terhenti di tengah jalan dan batal dirilis untuk jadwal edar
2004 (belakangan, ketika karir solo Katy Perry meroket, album ini dirilis tahun
2009 dengan The Matrix lewat iTunes!).
Nggak
ada yang bisa diajak kerja sama, Katy lantas nekat memproduksi sendiri album
solonya. Tapi kembali nasib buruk menimpanya. Belum genap album itu rampung
dibuat, tahun 2006 Columbia memecatnya. Untuk kali kedua setelah out dari Def
Jam, lagi-lagi Katy ditendang dari label rekaman yang merasa dirinya tak begitu
berpotensi untuk jadi bintang besar.
Namum
bukan Katy jika menyerah begitu saja. Sembari menunggu kontrak dengan label
lain, ia mencari sesuap nasi dengan bekerja di Taxi Music. Ini merupakan sebuah
agensi A&R (artists&repertoire) yang bergerak di bidang talent
scounting (pencarian bibit-bibit baru penyanyi dan musisi berbakat) plus bisa
juga menjadi semacam petugas penghubung antara artis dan label rekaman.
Untungnya
para eksekutif Columbia cukup baik hati. Nggak memecat Katy begitu saja, mereka
juga mencarikan label baru yang kira-kira akan cocok dihuni Katy. Namanya
direkomendasikan salah satu petinggi Columbia, Angelica Cob Baehler, pada
presiden label rekaman Virgin Records Jason Flom. Pada diri Katy, Jason melihat
titik terang seorang bintang besar baru yang akan segera lahir.
Meski
rekan-rekannya di Virgin banyak yang nggak sependapat, Jason Flom tetap
keuhkeuh untuk menggaet Katy Perry. Peristiwa penting ini terjadi awal 2007.
Katy akhirnya bener-bener teken kontrak untuk Jason Flom di label rekaman baru
Capitol Music Group yang merupakan merger anatara Virgin Records dan Capitol
Records.
Selain
Katy, yang dibawa pindah dari Columbia adalah master lagu-lagu lama yang
dibuatnya selama masih bergabung di sana. Dan langkah strategis pertama yang
dilakukan Jason Flom adalah mempertemukan Katy dengan produser dan penulis lagu
kenamaan Dr. Luke. Dari kolaborasi mereka lahirlah single I Kissed a Girl.
No comments:
Post a Comment