Sunday, November 9, 2014

Before Katy Perry

Maka mulailah sebuah periode yang penuh perjuangan dalam hidup sang artis dengan nama baru itu, Katy Perry. Tentu saja kegagalan album Katy Hudson nggak bikin dia patah semangat. Justru sebaliknya, ia tambah penasaran untuk terus mengejar mimpi-mimpinya di belantara musik. Dan itu terlihat dari keputusannya untuk hijrah meninggalkan kampung halamannya, Santa Barbara, menuju tempat lain yang masih berada di negara bagian California namun terasa seperti dimensi berbeda : Los Angeles!.

Dan itu dilakukannya saat usianya baru saja beranjak 17 tahun, usia ketika kebanyakan dari kita masih setia meringkuk dalam perlindungan orang tua dan sibuk menghabiskan duit mereka demi memenuhi semua keinginan. Bagi orang hebat seperti Katy, umur 17 justru menjadi saat-saat ketika perjuangan besar dan kerja keras dimulai.

Masih membawa latar belakang bermusik sebagai penyanyi dan penulis lagu gospel, tempat tujuan pertamanya adalah Island Records, Label ini didirikan di Jamaika pada tahun 1959 oleh Chris Blackwell dan Graeme Goodall. Katy akan bergabung bersama nama-nama besar semacam Babyface, Hoobastank, Jennifer Lopez, dan juga Lionel Richie.

Karena seumur hidup hanya tahu soal musik gospel, Katy boleh dibilang sama sekali nggak mengenal tentang dunia musik pop komersial secara umum. Maka ia juga bengong waktu ditanya oleh salah seorang produser di Island Records, kira-kira Katy ingin kerja bareng dengan produser atau musisi kayak apa untuk proyek albumnya.

Masih sambil bengong, Katy balik ke hotel bersama mamanya dan merenungkan masa depannya. Sambil mikir, ia menyalakan TV dan tune in ke channel khusus musik VH1, yang kebetulan saat itu tengah menayangkan wawancara dengan produser kondang Glenn Ballard. Dalam tayangan itu, Glenn tengah bicara soal salah satu anak didiknya yang paling tersohor, Alanis Morissette.

Glenn Ballard lahir tanggal 1 Mei 1953, dan telah bekerja sama dengan sangat banyak artis musik yang masuk kategori legenda. Ia ikut menggarap album Thriller, Bad, dan Dangerous milik Michael Jackson. Pada sekitar tahun-tahun itu, ia memproduseri album milik No Doubt, Shakira, dan Dave Matthews Band. Namum masterpiece-nya yang terindah adalah Jagged Little Pill (1996), album ketiga Alanis Morissette.

Pada era 1990-an, Alanis dan Jagged Little Pill adalah sebuah fenomena tersendiri. Nggak ada seorang pun yang melewati dekade itu dan nggak mengenali lagu-lagu seperti You Oughta Know, Ironic, ataupun Head Over Feet. Semua lagu di dalamnya ditulis oleh Alanis, sedangkan Glenn bertanggung jawab pada soal komposisi musik.

Alanis Morissette, dan terutama album itu, adalah inspirasi besar buat Katy. Ia baru berumur 12 tahun saat Jagged Little Pill dirilis. Muncul pada saat ia tengah merajut mimpi bermusik. Ide pun datang dengan seketika. Ia langsung meminta untuk dipertemukan dengan Glenn, dan di LA juga akhirnya pertemuan bersejarah itu berlangsung.

Pada Glenn, Katy menyodorkan salah satu lagu demo yang dimilikinya. Ternyata Glenn langsung tertarik dan menerima tawaran kerja sama yang diberikan Katy. Nggak cuma itu, Glenn juga membantu Katy mengasah kemampuan soal penulisan lagu, terutama untuk keluar dari kungkungan musik gospel yang sejak kecil ia alami.

Maka konsep album pun terbentuk. Dijadwal akan beredar pada tahun 2005, Katy dan Glenn bahu-membahu untuk memproduksi materi lagu-lagu yang akan dimasukkan ke dalam album tersebut. Sayang, dunia nyata ternyata nggak seindah cita-cita. Nggak ada progress yang berarti dari album tersebut. Yang lebih nyakitin, Katy akhirnya malah dikeluarkan sepenuhnya dari The Island Def Jam Music Group.

Mimpi untuk memiliki album pada tahun 2005 pun punah sudah. Lagu-lagu yang sudah selesai  digarapnya bareng Glenn Ballard pun mangkrak tak jadi mengudara di mana pun. Katy akhirnya memasang lagu Box, Diamonds, dan Long Shot di halaman MySpace-nya.

Beberapa di antaranya kemudian dipakai untuk keperluan lain. Single Simple batal masuk album solo, lalu dipasang sebagai salah satu lagu soundtrack untuk film The Sisterhood of the Traveling Pants (2005), film adaptasi novel berjudul sama karangan Ann Brashares yang dibesut Ken Kwapis. Di album soundtrack film itu, Katy berjajar bersama Chantal Kreviazuk, Natasha Bedingfield, dan Five for Fighting.

Dua lagu lain, Long Shot dan I Do Not Hook Up, dipakai oleh pemenang kontes American Idol musim pertama, Kelly Clarkson, dalam album keempatnya, All I Ever Wanted (2009). I Do Not Hook Up menjadi single kedua album itu setelah My Life Would Suck Without You dan berhasil nangkring hingga peringkat 12 di chart Billboard pop 100. Lagu tersebut digarap Katy bersama Greg Wells dan penulis lagu kenamaan Kara DioGuardi.

Lepas dari Def Jam, Katy direkut oleh label lain yang nggak kalah mentereng, Columbia Records. Ini terjadi setahun sebelum keduanya harusnya keluar, yaitu 2004. Namun kiprahnya di Columbia nggak berlangsung mulus, sebab ia tidak didesain untuk memegang sisi kreatif albumnya. Dalam arti, ia hanya menyanyi dan tak ikut campur terlalu jauh dalam penulisan lagu, komposisi musik, dan terutama pemilihan lagu serta single.

Selain itu, ada ide untuk menjadikannya sebagai vokalis cewek untuk The Matrix yang saat itu tengah menggarap album. The Matrix yang ini bukan film Keanu Reeves yang monumental itu, melainkan salah satu grup musik. Yang unik, The Matrix bukan band atau grup vokal, melainkan diisi oleh sederetan  orang yang bertindak sebagai produser. The Matrix waktu itu beranggotakan Lauren Christy, Graham Edwards, dan Scott Spock.

Lauren Christy pada tahun 1990-an pernah ngetop sesaat lewat dua soundtrack film, yaitu lagu The Color of the Night (dari film Color of Night) dan Anywhere the Wind Blows (film Seven Girlfriends). Ia kemudian menikah dengan Graham Edwards dan bertemu peniup trompet Scott Spock. Sebagai The Matrix, mereka meraup sukses dengan memproduksi lagu-lagu hit untuk Christina Aguilera, Backstreet Boys, serta Avril Lavigne.

Puas berproduksi untuk artis lain, mereka berencana untuk membuat album mereka sendiri. Selain Katy Perry, vokalis lain yang digaet adalah Adam Longlands. Sayang album ini terhenti di tengah jalan dan batal dirilis untuk jadwal edar 2004 (belakangan, ketika karir solo Katy Perry meroket, album ini dirilis tahun 2009 dengan The Matrix lewat iTunes!).

Album The Matrix
Nggak ada yang bisa diajak kerja sama, Katy lantas nekat memproduksi sendiri album solonya. Tapi kembali nasib buruk menimpanya. Belum genap album itu rampung dibuat, tahun 2006 Columbia memecatnya. Untuk kali kedua setelah out dari Def Jam, lagi-lagi Katy ditendang dari label rekaman yang merasa dirinya tak begitu berpotensi untuk jadi bintang besar.

Namum bukan Katy jika menyerah begitu saja. Sembari menunggu kontrak dengan label lain, ia mencari sesuap nasi dengan bekerja di Taxi Music. Ini merupakan sebuah agensi A&R (artists&repertoire) yang bergerak di bidang talent scounting (pencarian bibit-bibit baru penyanyi dan musisi berbakat) plus bisa juga menjadi semacam petugas penghubung antara artis dan label rekaman.

Untungnya para eksekutif Columbia cukup baik hati. Nggak memecat Katy begitu saja, mereka juga mencarikan label baru yang kira-kira akan cocok dihuni Katy. Namanya direkomendasikan salah satu petinggi Columbia, Angelica Cob Baehler, pada presiden label rekaman Virgin Records Jason Flom. Pada diri Katy, Jason melihat titik terang seorang bintang besar baru yang akan segera lahir.

Meski rekan-rekannya di Virgin banyak yang nggak sependapat, Jason Flom tetap keuhkeuh untuk menggaet Katy Perry. Peristiwa penting ini terjadi awal 2007. Katy akhirnya bener-bener teken kontrak untuk Jason Flom di label rekaman baru Capitol Music Group yang merupakan merger anatara Virgin Records dan Capitol Records.

Selain Katy, yang dibawa pindah dari Columbia adalah master lagu-lagu lama yang dibuatnya selama masih bergabung di sana. Dan langkah strategis pertama yang dilakukan Jason Flom adalah mempertemukan Katy dengan produser dan penulis lagu kenamaan Dr. Luke. Dari kolaborasi mereka lahirlah single I Kissed a Girl. 

No comments:

Post a Comment